“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al-Baqarah: 45)
Shalat adalah tiang agama, jika benar shalat seseorang, maka benar pula agamanya. Begitulah bunyi dari salah satu hadis yang sering kita dengar. Nyatanya, Saat ini, kewajiban shalat yang dikerjakan belum bisa mencegah berbagai keburukan dan kemungkaran sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ankabut: 45 (inna shalaata tanhaa ‘anil fahsyaa’ wal munkar). Justru banyak orang yang mengerjakan shalat tapi juga tidak meninggalkan berbagai kemungkaran. Sehingga banyak orang yang mengerjakan shalat tapi tidak takut melakukan korupsi. Bahkan kejahatan dan aksi teror yang mengatasnamakan agama (Islam) semakin meraja rela. Akibatnya, banyak orang menyatakan bahwa shalat bukanlah ukuran baik-tidaknya seseorang. Ironis, bagaimana mungkin firman Allah tersebut tidak terbukti.
Dalam Al-Quran, perintah shalat disebutkan dengan kata aqimis shalaah (dirikanlah shalat), bukan if’alus shalaah (kerjakanlah shalat). Mendirikan shalat ibarat mendirikan bangunan karena banyak unsur yang harus saling terkoneksi dan tersinkronisasi satu sama lain sebelum menjadi bangunan yang kokoh dan utuh sebagai satu kesatuan. Dan ibarat bangunan, shalat juga harus didirikan di atas fondasi yang kuat; fondasi fiqh(aturan dan kaidah) dan fondasi akhlak (termasuk di dalamnya muamalah), serta makna hakiki masing-masing hukum fiqh-nya.